Partisipasi Politik
Dalam analisis politik
modern partisipasi politik merupakan suatu masalah yang penting dan akhir-akhir
ini banyak dipelajari terutama dalam hubungannya dengan negara-negara
berkembang. Selain itu pada abad ke-19 di Amerika demokrasi (de Tocqueville,
1945) secara tepat mengenali adanya kecenderungan negara untuk memusatkan
kekuasaan, dan karenanya menggarisbawahi kebutuhan perkumpulan sipil maupun
politik alternatif untuk mengimbangi dan mengontrol kekuasaan ini jika
kebebasan hendak dipertahankan. Kemauan warga negara untuk berpartisipasi
sepenuhnya dalam pengaturan kehidupannya sendiri adalah inti dari tumbuh
suburnya masyarakat sipil. marilah kawan-kawan semuanya untuk membaca artikel dibawah ini, mengenai Partisipasi Politik.
Definisi Partisipasi Politik
Apakah
partisipasi politik itu? Sebagai definisi umum dapat dikatakan bahwa
partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau kelompok orang untuk ikut
serta secara aktif dalam kehidupan politik, antara lain dengan jalan memilih
pimpinan negara dan, secara langsung atau tidak langsung, memengaruhi kebijakan
pemerintah (publik policy). Kegiatan
ini mencakup tindakan seperti memberikan suara dalam pemilihan umum,
menghindari rapat umum, mengadakan hubungan (contacting) atau lobbying
dengan pejabat pemerintah atau anggota parlemen, menjadi anggota partai atau
salah satu gerakan sosial dengan direct
actionnya, dan sebagainya.
Menurut
salah seorang tokoh masalah partisipasi berpendapat : “Partisipasi politik adalah kegiatan-kegiatan sukarela dari warga
masyarakat melalui mana mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan
penguasa, dan secara langsung atau tidak langsung, dalam proses pembentukan
kebijakan umum”[1]. Hal
yang diteropong terutama adalah tindakan-tindakan yang bertujuan untuk
memengaruhi keputusan-keputusan pemerintah, sekalipun fokus utamanya lebih luas
tetapi abstrak, yaitu usaha-usaha untuk memengaruhi alokasi nilai secara
otoritatif untuk masyarakat (the
authoritative allocation of values for a society). Selain itu ada sebuah
pandangan minimalis terhadap partisipasi politik secara logis juga muncul dari
asumsi-asumsi teori pilihan rasional. Tidak adanya kemauan mayoritas orang
untuk berpartisipasi bukanlah tanda kebodohan melainkan rasionalitas mereka
(Olson / 1971 dan Downs / 1957). Di negara-negara demokrasi konsep partisipasi
politik bertolak dari paham bahwa kedaulatan ada di tangan rakyat, yang
diselenggarakan melalui kegiatan bersama untuk menetapkan tujuan-tujuan serta
masa depan masyarakat itu dan untuk menentukan orang-orang yang akan memegang
tampuk pimpinan. Jadi dapat diketahui, partisipasi politik merupakan pengejawantahan
dari penyelenggaraan kekuasaan politik yang absah oleh rakyat.
Anggota
masyarakat yang berpartisipasi dalam proses politik, misalnya melalui pemberian
suara atau kegiatan lain, terdorong oleh keyakinan bahwa melalui kegiatan
bersama itu kepentingan mereka akan tersalur atau sekurang-kurangnya
diperhatikan, dan bahwa mereka sedikit banyak dapat memengaruhi tindakan dari
mereka yang berwenang untuk membuat keputusan yang mengikat. Dengan kata lain,
mereka percaya bahwa kegiatan mereka mempunyai efek politik (Political Efficacy).
[1] Herbert McClosky, “Political Participation,” International Encyclopedia of the Social
Sciences, ed. ke-2 (New York: The Macmillan Company, 1972), XII, hlm. 252
Partisipasi
Politik di Negara Demokrasi
Kegiatan yang
dapat dikategorikan sebagai partisipasi politik menunjukkan berbagai bentuk dan
intensitas. Biasanya diadakan pembedaan jenis partisipasi menurut frekuensi dan
intensitasnya. Orang yang mengikuti kegiatan secara tidak intensif, yaitu
kegiatan yang tidak banyak menyita waktu dan yang biasanya tidak berdasarkan
prakarsa sendiri (seperti memberikan suara dalam pemilihan umum) besar sekali
jumlahnya. Sebalik nya, kecil sekali jumlah orang yang secara aktif dan sepenuh
waktu melibatkan diri dalam politik. Di bawah ini dipaparkan dua piramida pola
partisipasi. Piramida partisipasi, menurut Milbrath dan Goel, memperlihatkan
bahwa masyarakat Amerika dapat dibagikan dalam tiga kategori: a. Pemain
(Gladiators), b. Penonton (Spectators), dan c. Apatis (Apatheics).
Partisipasi Politik di Negara Otoriter
Di negara-negara otoriter seperti komunis pada masa lampau, partisipasi
massa umumnya diakui kewajarannya, karena secara formal kekuasaan ada di tangan
rakyat. Akan tetapi tujuan utama partisipasi masa dalam masa pendek
masyarakat adalah merombak masyarakat yang terbelakang menjadi masyarakat
modern, produktif, kuat, dan berideologi kuat. Hal ini memerlukan disiplin dan
pengarahan ketat dari monopoli partai politik.
Terutama,
persentase partisipasi yang tinggi dalam pemilihan umum dianggap dapat memperkuat
keabsahan sebuah rezim di mata dunia. Karena itu, rezim otoriter selalu
mengusahakan agar persentase pemilih mencapai angka tinggi. Dalam partisipasi
politik di luar umum dapat juga dibina melalui organisasi-organisasi yang
mencakup golongan pemuda, golongan buruh, serta organisasi-organisasi
kebudayaan. Melalui pembinaan yang ketat potensi masyarakat dapat dimanfaatkan
secara kontrol.
Negara-negara
otoriter yang sudah mapan menghadapi dilema bagaimana memperluas partisipasi
tanpa kehilangan kontrol yang dianggap mutlak diperlukan untuk tercapainya
masyarakat yang didambakan. Jika kontrol dikendorkan untuk meningkatkan
partisipasi, maka ada bahaya bahwa akan timbul konflik yang mengganggu
stabilitas negara. Salah satu contoh negara yang mengalami nya terjadi di China
pada tahun 1956/1957, awal dicetuskan nya gerakan “Kampanye Seratus Bunga”
dimana masyarakat sendiri diperbolehkan untuk menyampaikan kritik. Akan tetapi
hal tersebut justru berdampak buruk dikarenakan banyak nya kritikan dari masyarkat
yang tajam dan dianggap menggangu stabilitas nasional. Sehingga beberapa ratus
mahasiswa kehilangan nyawa dalam benturan dengan aparat-pemerintah memperketat
kontrol kembali.[1]
Tipologi dan
Model Partisipasi Politik.
Partisipasi politik, selain dilihat
dari definisi, bentuk dan tingkatan, juga dapat dilihat dari tipologi dan
model.
Pertama, dari sisi tipologi, partisipasi politik dapat
dibedakan menjadi partisipasi aktif dan partisipasi pasif. Yang termasuk dalam
kategori partisipasi politik aktif ialah mengajukan usul mengenai suatu
kebijakan umum, mengajukan alternatif kebijakan umum yang berlainan dengan
kebijakan yang dibuat pemerintah, mengajukan kritik dan perbaikan untuk
kebijakan, membayar pajak dan memilih pemimpin pemerintahan. Sebaliknya,
kegiatan yang termasuk dalam kategori partisipasi pasif berupa berupa kegiatan
yang menaati pemerintahan, menerima, dan melaksanakan setiap keputusan
pemerintah (Ramlan Surbakti, 1992).
Partisipasi politik aktif ini
menunjukan kegiatan yang berorientasi pada proses input dan output.
Sedangkan partisipasi politik pasif merupakan kegiatan yang berorientasi pada
proses output. Disamping itu,
terdapat sejumlah anggota masyarakat yang tidak termasuk dalam kategori partisipasi
politik aktif maupun partisipasi politik pasif. Kelompok ini muncul didasarkan
pada pandangan mereka yang menganggap masyarakat dan sistem politik yang ada
telah menyimpang dari apa yang mereka cita-citakan. Mereka disebut sebagai
kelompok apatis atau golongan putih (golput).
Tipologi partisipasi politik dapat
pula didasarkan pada jumlah pelaku, yaitu individual dan kolektif. Partisipasi
politik individual ialah kegiatan warga negara secara perseorangan terlibat
dalam kehidupan politik. Adapun yang dimaksud partisipasi politik kolektif
adalah kegiatan warga negara secara serentak untuk memengaruhi penguasa,
misalnya kegiatan dalam pemilihan umum.
Kedua adalah membicarakan partisipasi politik dari sisi
model. Dari sisi lain, partisipasi politik apabila didasarkan pada faktor
kesadaran politik dan kepercayaan kepada pemerintah (sistem poltiik), dapat
dibedakan menjadi empat model.
1.
Apabila seseorang memiliki kesadaran
politik dan kepercayaan kepada pemerintahan yang tinggi, partisipasi politik
aktif.
2.
Apabila kesadaran politik dan
kepercayaan kepada pemerintah rendah, partisipasi politik cenderung
pasif-tertekan (pasif)
3.
Apabila kesadaran politik tinggi,
tetapi kepercayaan kepada pemerintah sangat rendah, partisipasi cenderung
militan-radikal.
4.
Apabila kesadaran politik sangat
rendah, tetapi kepercayaan kepada pemerintah sangat tinggi, partisipasi
cenderung tidak aktif (pasif).
Baik faktor kesadaran politik maupun
faktor kepercayaan kepada pemerintah bukan merupakan variabel atau
faktor-faktor yang berdiri sendiri (variabel independen). Dengan kata lain,
tinggi-rendah kedua faktor itu dipengaruhi oleh faktor-faktor lain, seperti
status sosial dan status ekonomi, afiliasi politik orang tua dan pengalaman
berorganisasi. Adapun hubungan faktor-faktor terssebut dapat digambarkan
sebagai berikut. Status sosial dan status ekonomi, afiliasi politik orang tua
dan pengalaman berorganisasi dikategorikan sebagai variabel pengaruh atau
varibel independen. Kesadaran politik dan kepercayaan kepada pemerintah
dikategorikan sebagai variabel antara atau intervening
variables. Kemudian, partisipasi politik dikategorikan sebagai variabel
terpengaruh atau variabel dependen (Ramlah Surbakti, 1992).
Komentar
Posting Komentar